Saat Ines Memilih Diam dan Tidur Sendiri—Cerita Tentang Luka yang Tak Pernah Dikatakan

Saat Ines Memilih Diam dan Tidur Sendiri—Cerita Tentang Luka yang Tak Pernah Dikatakan

Ines bukan tipe orang yang suka keramaian. Dulu, mungkin iya, tapi kini, rumah kecilnya terasa seperti kepompong. Kepompong yang nyaman, tapi juga sedikit menyesakkan. Dia memilih sunyi, memilih untuk tidak banyak bicara, terutama tentang hal-hal yang berat di hatinya. Ada luka di sana, yang sudah lama bersarang, tak pernah benar-benar diobati, hanya dibiarkan membeku dalam diam. Setiap malam, saat dunia luar masih hiruk-pikuk dengan ceritanya masing-masing, Ines menarik selimut, memeluk dirinya sendiri, dan tidur sendirian. Bukan karena tidak ada yang ingin menemaninya, tapi karena dia merasa hanya dalam kesendirian itu dia bisa benar-benar bernapas, meskipun setiap tarikan napas terasa membawa beban dari luka yang tak pernah ia ceritakan.

Sunyi yang Dipilih, Dinding yang Dibangun

Keputusan Ines untuk menarik diri bukanlah sesuatu yang terjadi tiba-tiba. Ini adalah akumulasi dari banyak hal, perasaan yang terpendam, dan keyakinan bahwa diam adalah cara terbaik untuk bertahan. Hari-harinya kini berjalan dalam ritme yang tenang, jauh dari hingar-bingar interaksi sosial yang dulunya mungkin pernah ia nikmati. Ada semacam kelelahan yang mendalam yang membuatnya enggan untuk 'menyalakan' dirinya demi orang lain. Melihat orang lain dengan mudahnya bercengkrama, entah itu saat hangout di kafe favorit, tertawa lepas saat menikmati senja di pantai dengan gaun ringan tertiup angin, atau sekadar berkumpul untuk obrolan ringan, terasa seperti melihat dunia yang berbeda, dunia yang sudah lama tidak ia pijak. Ada dinding tak kasat mata yang ia bangun, memisahkannya dari dunia luar. Dinding itu terbuat dari keengganan untuk menjelaskan, dari rasa lelah menghadapi pertanyaan yang mungkin terdengar sepele bagi orang lain tapi terasa menusuk baginya, dan dari ketakutan jika lukanya yang rapuh tersentuh oleh orang lain. Di balik dinding itu, hanya ada Ines dan sunyinya yang seringkali terasa seperti pelukan sekaligus penjara. Setiap hari adalah perjuangan sunyi untuk sekadar ada, tanpa harus menampilkan diri yang 'baik-baik saja'.

Bentuk-bentuk Luka yang Tak Terucap

  • Luka yang tak terucap ini memiliki bentuknya sendiri. Kadang, ia menjelma menjadi beban berat di dada, membuat sulit bernapas lega. Diam yang dipilih Ines bukanlah diam yang damai, melainkan diam yang menimbun, seperti tumpukan salju yang semakin tinggi di musim dingin. Setiap kata yang tertahan, setiap cerita yang tak dibagikan, menambah bobot salju itu, perlahan tapi pasti menekan dirinya.
  • Rasa sakit emosional itu anehnya juga menemukan cara untuk bermanifestasi secara fisik. Terutama, ia memengaruhi tidurnya. Ines menemukan bahwa ia hanya bisa benar-benar pulas saat sendirian di kamarnya, di bawah selimut hangat. Kehadiran orang lain, betapapun dekatnya, entah mengapa membuat lukanya terasa lebih perih, lebih terekspos, dan membuatnya sulit terlelap. Tidur sendiri menjadi semacam pelarian, momen ketika ia tak perlu berpura-pura kuat atau baik-baik saja.
  • Alasan terbesar Ines memilih diam seringkali adalah ketakutan. Takut jika ceritanya disalahpahami atau reaksinya tak sesuai harapan. Luka yang dalam seringkali sulit dijelaskan dengan kata-kata, dan mencoba melakukannya terasa seperti membuka kembali perban pada luka yang belum sepenuhnya kering. Prosesnya bisa menyakitkan dan menghambat penyembuhan jika respons yang diterima tidak sesuai.

Kenyamanan dalam Ritual Sederhana

Meski menarik diri, Ines tidak sepenuhnya pasif dalam kesendiriannya. Ia menciptakan ritual kecil yang memberinya rasa aman dan nyaman. Menyalakan lilin aroma terapi di sore hari, membaca buku sambil ditemani secangkir teh hangat, atau hanya duduk di lantai sambil mendengarkan musik instrumental. Hal-hal sederhana ini menjadi jangkar baginya, pegangan di tengah badai emosi yang tersembunyi. Tidur sendirian, seperti yang disebutkan, bukanlah bentuk kesepian yang menyedihkan baginya, melainkan momen sakral untuk merawat diri. Itu adalah saat ia bisa melepaskan topeng, membiarkan air mata mengalir jika perlu, atau sekadar menikmati ketenangan yang hanya bisa ia temukan saat benar-benar sendiri. Dalam kesendiriannya, Ines berusaha menemukan kembali kekuatannya, sepotong demi sepotong.

Gambar CTA

🔥 Jangan lewatkan cerita selanjutnya yang makin panas dan penuh teka-teki...

Kesimpulan

Cerita Ines adalah pengingat bahwa luka tidak selalu berdarah di permukaan; kadang ia membeku di kedalaman hati, memaksa seseorang membangun dinding dan mencari kenyamanan dalam sunyi yang dipilih. Diam bukanlah tanda kelemahan, melainkan terkadang cara untuk bertahan, mengumpulkan kekuatan dalam kesendirian sebelum siap (atau tidak pernah siap) untuk berbagi. Luka yang tak terucap tetaplah luka, dan proses penyembuhannya bisa sangat personal dan sunyi. Bagaimana pengalaman Anda menghadapi luka batin? Jangan ragu untuk berbagi di kolom komentar!

Komentar